JAKARTA β Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga. Skema ilegal yang dilakukan dalam pembelian bahan bakar minyak (BBM) ini menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun.
Dikutip dari keterangan pers pada Selasa (25/2/2025), Kejagung mengungkapkan bahwa tersangka utama dalam kasus ini adalah Riva Siahaan (RS), yang melakukan pembelian Pertamax (Ron 92), namun yang dibeli sebenarnya adalah Pertalite (Ron 90) atau bahan bakar dengan kadar lebih rendah. Setelah itu, BBM tersebut kemudian di-blending di storage/depo agar memiliki kadar Ron 92, sebuah praktik yang tegas dilarang.
βDan hal tersebut tidak diperbolehkan,β kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (24/2/2025) malam.
Selain RS, enam tersangka lainnya yang juga terlibat dalam perkara ini adalah Yoki Firnandi (YF), Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; SDS, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; AP, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional; MKAR, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Kejagung menjelaskan bahwa RS bekerja sama dengan SDS dan AP untuk memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
“Selain itu, tersangka DM dan GRJ juga terlibat dalam komunikasi dengan AP untuk menetapkan harga tinggi sebelum persyaratan dipenuhi dan mendapat persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang,” tambah Abdul Qohar.
Tak hanya itu, Yoki Firnandi diduga terlibat dalam mark-up kontrak pengiriman minyak yang mengakibatkan negara harus membayar fee secara ilegal antara 13 hingga 15 persen. Keuntungan dari transaksi ini kemudian dinikmati oleh tersangka MKAR.
Dampak dari praktik ilegal ini sangat besar. Kejagung menyebutkan bahwa mayoritas kebutuhan minyak dalam negeri dipenuhi melalui impor yang dilakukan dengan cara melawan hukum. Akibatnya, komponen harga dasar BBM meningkat, yang akhirnya menjadi dasar penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM. Hal ini menyebabkan harga BBM di masyarakat menjadi lebih mahal, sementara beban kompensasi dan subsidi yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin meningkat setiap tahunnya.
Dengan terungkapnya kasus ini, Kejagung menegaskan akan terus melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkap pihak-pihak lain yang terlibat dalam praktik korupsi ini. Kejagung berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini hingga tuntas demi memastikan keadilan dan mengembalikan kerugian negara.(*/Ltr1)