JAKARTA – Band punk rock legendaris asal Amerika Serikat, Green Day, tampil enerjik di konser bertajuk “Green Day Live in Jakarta” yang digelar di Carnaval Ancol, Jakarta Utara, pada Sabtu (15/2/2025) malam. Setelah 29 tahun, ketiga personel Green Day yakni Billie Joe Armstrong (vokal & gitar), Mike Dirnt (bass), dan Tré Cool (drum) kembali menyapa para penggemarnya di Indonesia, membawakan 24 lagu dari berbagai album mereka.
Ini merupakan kali kedua Green Day menggelar konser di Indonesia setelah tampil di Jakarta Convention Center (JCC) pada tahun 1996. Kini, lebih dari dua dekade setelah itu, Green Day kembali menunjukkan bahwa semangat mereka tetap menyala di hati penggemar, baik yang lama maupun yang baru.
Penampilan dimulai tepat pukul 20.00 WIB, dengan Green Day langsung menggebrak panggung lewat lagu “The American Dream is Killing Me” yang diikuti dengan “Welcome to Paradise”, “Longview”, dan “Basket Case”. Keempat lagu pembuka ini langsung menyedot perhatian penonton, yang tampak bersemangat menyambut setiap petikan gitar Billie Joe.
Setelah membakar semangat, konser semakin semarak dengan lagu-lagu ikonik seperti “Forever Now”, “Dilemma”, “21 Guns”, “Minority”, “Brain Stew”, “American Idiot”, “Holiday”, dan “Boulevard of Broken Dreams”. Setiap lirik yang dilantunkan oleh Billie Joe diikuti dengan sorak sorai dan nyanyian bersama dari ribuan penggemar yang memenuhi area konser.
Billie Joe Armstrong tampak terkesan dengan antusiasme penonton malam itu. “Terima kasih! Sudah lama sejak kita terakhir kali datang ke sini 29 tahun yang lalu,” ujarnya dengan penuh semangat. Sesekali, ia mengajak penonton untuk bersorak mengikuti aba-abanya, bahkan mengajak mereka melompat dan mengangkat tangan sepanjang lagu bergema.
Penampilan Green Day semakin menggebu dengan lagu “Letterbomb”, “Wake Me Up When September Ends”, “Jesus of Suburbia”, dan “Bobby Sox”. Sebagian penonton bahkan melakukan moshing, melompat penuh energi mengikuti irama lagu-lagu cepat yang dimainkan. Kehangatan dan semangat penonton seolah menyatu dengan penampilan luar biasa dari Green Day.
Konser ini ditutup dengan lagu “Good Riddance (Time of Your Life)”, di mana Billie Joe mengiringi liriknya dengan petikan gitar akustik yang lembut, sementara penonton ikut bernyanyi bersama. Sebelum meninggalkan panggung, personel Green Day mengucapkan salam perpisahan, dan Mike Dirnt dengan hangat mengucapkan terima kasih dalam bahasa Indonesia, “Terima kasih!” serunya.
Kilauan cahaya kembang api menyertai penghujung konser yang berlangsung selama 1 jam 45 menit tersebut, menandai berakhirnya momen spektakuler yang tak akan terlupakan bagi penggemar Green Day di Indonesia.
Konser “Green Day Live in Jakarta” menjadi bagian dari perayaan Festival Hammersonic yang ke-10, sebuah festival musik internasional tahunan yang menampilkan band-band ternama dunia. Festival ini diinisiasi oleh Ravel Entertainment. Setelah konser di Thailand pada 12 Februari, Jakarta menjadi titik kedua di Asia Tenggara yang disambangi oleh Green Day dalam tur mereka.
Fans Green Day Asal Samarinda Kahar Al Bachri atau akrab disapa oca turut menyaksikan konser sejarah itu membawa keluarganya. Perjalanan musik Green Day menurutnya dimulai pada tahun 1995, saat dirinya pertama kali mendengar album Dookie, yang dirilis setahun sebelumnya.
“Namun, pada waktu itu saya lebih tertarik pada Nirvana, band grunge yang sedang naik daun. Meski begitu, Dookie dengan lagu-lagu hit seperti Basket Case dan When I Come Around mulai menggoda perhatian saya, meski saya tak begitu mendalam pada saat itu,” ucapnya kepada Literasi.
Tahun 1998, ketika reformasi melanda Indonesia, Oca mengatakan temannya bernama Senci Han menyodorkan kaset album Nimrod yang dirilis pada 1997.
“Saat itu, saya tengah getol-getolnya mendengarkan Rage Against The Machine (RATM) yang lebih menggugah semangat saya dalam menghadapi kondisi politik dan demonstrasi di Indonesia. Namun, sesekali saya memutar Nimrod, terutama lagu Good Riddance (Time of Your Life), yang menjadi lagu penenang sebelum tidur di PKM lantai atas,” urainya.
Namun, sejak 2001 hingga 2004, Green Day mulai menjadi playlist utamanya. Setiap malam, ia bersama rekannya berdiskusi dan membuat policy paper di Pokja 30 kerap mendengarkan lagu-lagu Green Day. Ketika album American Idiot meledak pada 2004, band ini semakin mendalam menghiasi hari-hari kami. Lagu-lagu seperti Boulevard of Broken Dreams dan Holiday semakin menggugah semangat perlawanan, seiring dengan berkembangnya politik global dan lokal.
“Setelah berkeluarga, intensitas mendengarkan Green Day sedikit berkurang, namun mereka tetap ada di playlist iPod tua saya. Pada suatu hari, saya menemukan #mytimur, platform musik yang memungkinkan saya mendengarkan Green Day di Spotify. Saya pun kembali menemukan cinta lama ini, bahkan sampai meminta kaos band pertama Green Day yang saya idamkan, yaitu kaos American Idiot,” paparnya.
Hal yang lebih mengharukan terjadi ketika anak putrinya, #mysarasvati, mulai jatuh cinta pada Green Day, bahkan lebih gila daripada saya. Lagu pertama yang dia bawakan saat bermain drum di SCP adalah 21 Guns, dan ketika ulang tahunnya yang ke-13 tiba, dia meminta CD album penuh Green Day. Sebagai ayah, saya merasa bangga bisa melihat anak saya memiliki ketertarikan yang sama terhadap band ini, yang sudah menemani hidup saya lebih dari dua dekade.
“Kini, saya bersama anak-anak saya menyaksikan konser Green Day di Jakarta, sebuah momen yang sebelumnya saya anggap mustahil. Saat konser di Stadion Gelora Bung Karno berlangsung, saya teringat sering bercanda dengan anak-anak, nanti kita nonton Green Day di Yerusalem. Namun, kenyataannya, saya dan anak-anak dapat menyaksikan band legendaris ini tampil langsung di Ancol Indonesia, setelah hampir 30 tahun berkarya,” jelasnya.
“Ternyata, bukan hanya saya yang mengantar anak-anak saya. Banyak juga ayah-ayah lain yang menemani anak-anak mereka, mulai dari yang masih SMP hingga kuliah. Green Day telah menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai generasi, menguatkan ikatan antara ayah-ayah milenial dan anak-anak mereka yang kini merupakan generasi Z. Green Day bukan hanya sekadar band, mereka adalah bagian dari cerita hidup banyak orang, sebuah warisan musik lintas generasi,” tutupnya.(Ltr1)